Photo by Thorsten technoman from Pexels
“Bi, selamat ya. Kutunggu undangannya.” Ucap Semi sambil melambaikan tangan sebelum masuk ke ruang tunggu pesawat. Gembira dan Semi sudah bersahabat hampir lima belas tahun sebelum akhirnya harus berpisah. Semi memutuskan hijrah ke Perancis karena terlalu cinta dengan croissant dan menara Eiffel. Berbeda dengan Gembira yang baru saja bertunangan, Semi memilih hidup melajang. Tabungan yang diperolehnya dari menghemat semua gaji sejak magang di jaman kuliah disimpannya baik-baik untuk melanglang buana ke negeri Marie Antoinette, ratu terakhir Perancis sebelum revolusi terjadi.
Gembi, begitu biasanya Gembira dipanggil, tak kuasa melepas kepergian Semi yang entah kapan akan kembali ke tanah air. Sahabatnya itu bertekad hendak membangun bisnis nomaden ala-ala generasi tanpa kantor seperti yang diprediksi filsuf Bernard Stiegler.
“Jangan takut, Bi, Dom laki-laki terbaik seperti yang kamu mau. Ganteng, tinggi,
perhatian, udah gitu mapan lagi. Kamu pasti bahagia meski tanpaku.”
Hibur Semi seolah mengalihkan perhatian Gembi dari kepergiannya kepada kekasihnya yang baru seminggu jadi tunangan itu, seolah dirinya bisa digantikan.
Tentu saja, Semi tahu jauh di lubuk hatinya persahabatan adalah persahabatan, bukan pertunangan. Dalam hubungan pernikahan, baik laki-laki maupun perempuan tidak bisa melulu menggantungkan diri pada pasangannya untuk menjadi sahabatnya. Masing-masing harus tetap punya sahabat, karena meski melebur jadi satu tubuh namun mereka tetaplah dua pribadi yang berbeda yang membutuhkan relasi di luar hubungan suci antara suami dan istri. Semi cuma bisa berharap Gembi akan bahagia, sebahagia dirinya yang akan merengkuh mimpi hidup bebas dengan berbagai petualangan yang menunggunya di semesta luar sana.
Sesampainya di Perancis, Semi sibuk mengurus usaha barunya yang beroperasi sepenuhnya di dunia maya itu. Semi juga berjejaring dan membangun pertemanan baru di sana, pertama-tama dengan beberapa teman diaspora Indonesia dan banyak teman-teman lokal. Hidupnya demikian berwarna dan penuh vitalitas layaknya anak-anak muda seusianya. Tentu saja, meski masih kontak dari waktu ke waktu Semi tak lagi hadir sedalam dulu lagi dalam kehidupan Gembi. Semi tak begitu mengetahui apa yang terjadi dalam hidup Gembi sehari-hari.
***
Gembi pulang dari bandara melepas Semi mewujudkan mimpinya. Bukannya kembali ke rumah, perempuan blasteran Ambon Jawa itu justru ke kantin Rindang di kampus almamater mereka. Dia duduk saja di bawah pohon-pohon besar yang tertiup udara sejuk dari gunung. Tak ingin terlalu larut dalam kesendiriannya perempuan berambut pendek ala Ellen DeGeneres itu memesan es teler kegemarannya mengusir sepi. Perpaduan kelapa muda kopyor, alpukat, dan nangka yang membaur dengan kelembutan susu kental manis itu membuai lidahnya. Enak. Tiba-tiba kenikmatan es itu terinterupsi oleh memorinya semasa kuliah kala dia, Semi dan Ronny menikmati es teller yang sama.
Di jaman kuliah, uang saku mereka terbatas sekali, apalagi anak kos. Biasanya Semilah yang mentraktir mereka. Dua porsi saja mereka pesan, satu untuk Ronny, dan satu untuk Gembi dan Semi yang memang tak kuat makan banyak terutama yang manis-manis. Kalau Ronny sih, namanya anak perantauan, apapun yang penting perut kenyang.
“Kalo nulis liputan mendalam, musti rajin baca referensi supaya ulasannya nendang. Terutama kamu Semi, jadi reporter jangan cuma modal data, tapi juga perlu memperkaya kajian, biar nggak garing.”
Ronny mulai ceramah seperti biasa sambil menyantap es telernya separuh jalan.
Gembi dan Semi tak merespon karena tahu Ronny tak akan hanya berhenti sampai di situ. Senior mereka di pers kampus yang berjurusan Hukum itu kalo sudah bicara lama mandegnya. Tak seperti mahasiswa lainnya di kampus biru yang cukup pasokan dana dari Yayasan Ayah dan Bunda, Ronny Yeimo, tak bertampang menarik ataupun karismatik sama sekali. Kaos dan jeansnya hanya dua. Polanya selalu cuci kering lalu pakai. Hanya saja, entah mengapa ketika dia bicara, Gembi dan Semi tak pernah menemukan celah dalam argumentasinya.
“Dan kamu, Gembi, jangan terlalu banyak kajian tapi minim laporan, ntar orang berasa kayak baca laporan kuliah. Garing juga, berasa makan tulang ayam tanpa daging. Pembaca kan orang, bisa mikir juga.”
Ronny lagi-lagi menyeruput kuah es yang terasa seperti krim susu karena daging alpukat yang dihaluskannya sampai seperti bubur encer.
Gembi tak menyangka dia juga akan kena semprot. Ronny menyodorkan naskah mereka masing-masing tentang laporan adat masyarakat pembatik Imogiri di tengah maraknya industri batik cap yang menggerus batik tulis. Semua penuh dengan coretan dan tulisan tangan yang biasanya bernada menyarankan bentuk penulisan ulang atau mempertanyakan maksud kalimat yang tak jelas. Sebagai editor, Ronny jarang sekali mengoreksi tata bahasa. Dia tahu porsinya dan tak mau jadi mesin pengoreksi ejaan. Gembi selalu heran mengapa mahasiswa secerdas Ronny tak juga lulus kuliah. Meski getir karena harus mengoreksi tulisannya, Gembi senang karena banyak belajar.
Nostalgia itu menambah es telernya terasa menyejukkan, seolah dia tak sedang duduk sendirian dan tak sedang kesepian. Seolah dia masih anak kuliahan yang bebannya hanya supaya lulus cepat dengan deretan nilai A dan mengoreksi tulisan liputannya untuk tabloid kampus. Seolah dia tak harus diperhadapkan pada pilihan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Menyadari lamunannya yang tak lagi relevan dengan hidupnya sekarang, Gembi menghardik dan memaksa dirinya menikmati kenyataan. Lagipula waktu itu, Bapak selalu mengeluhkan kesibukan Gembi di luar jam kuliah.
Lagu "River Flows in You" dari Yiruma mengalun kalem memenuhi area kantin. Bosan membolak-balik majalah mode yang tak jadi dibawa Semi karena kelebihan bagasi, Gembi menelepon Dominik, tunangannya, yang bekerja di sebuah perusahaan tambang di Jayapura, untuk mengusir sepi.
“Halo sayang, sori ganggu.” Ucap Gembi datar.
“Hei Bi, nggak kok udah break makan. Aku lagi jalan ke kantin. Jadi anter Semi?” Laki-laki blasteran Spanyol Jawa itu jarang bisa terima telepon kecuali saat istirahat siang dan setelah kerja di malam hari, tergantung jadwal piketnya.
“Jadi, sepi nih nggak ada Semi lagi.” Kata Gembi mengharapkan pembicaraan berlangsung lebih panjang, minimal selama Dom makan siang.
“Kasihan…Hmm...tunggu bentar...Duh sori ya, aku ada panggilan.” Telepon dimatikan. Begitu biasanya pembicaraan mereka sering putus.
Sebenarnya mereka jarang betul-betul bersama untuk mengenal satu dengan yang lain dengan mendalam. Mereka lebih sering terpisah jarak. Ketika bersamapun waktu mereka habiskan untuk jalan-jalan, belanja dan kadang kala menghadiri pameran lukisan dan karya visual lain kegemaran Gembi. Dom tampak sangat tertarik dengan kehidupan Gembi yang sebenarnya jauh berseberangan dengan dirinya. Dia rajin mengikuti perkembangan seni avant-garde tanah air, seperti pelukis kondang Rusli, maupun internasional. Bahkan suatu kali Dom bisa menelepon Gembi di tengah kesibukan kerjanya hanya untuk mengabarkan penemuan lokasi bunuh diri Van Gogh, pelukis asal Belanda.
Kabar terbaru itu tentu penting buat tunangan yang bagi Dom lebih mirip seperti alter egonya yang menjadi karakter dalam dirinya yang sanggup melarikan diri dari dunia banal yang penuh imaji semu komersialisasi. Untuk menyeimbangkan gaya hidup hedonis yang dipilihnya, beralasan demi kemajuan generasi bangsa, Dom ikut jadi pendonor tetap Yayasan Anak Merdeka (YAM) tempat Gembi jadi sukarelawan pengajar seni di Bogor. Mereka persis seperti Reuben dan Polly di film "Along Came Polly"-nya Jeniffer Aniston.
Hidup Dom sendiri berrevolusi di seputar tema-tema seperti kerja, investasi dan belanja. Sudah pada dasarnya ganteng dan bertubuh bongsor dengan figure atletis, Dom sangat peduli dengan penampilannya. Dia sangat memperhatikan perawatan wajahnya dan pergi ke gym tiga kali seminggu. Berbagai pola diet yang sedang ngetrenpun diikutinya. Pola makannya diatur tergantung gaya makan apa yang diikutinya, mulai dari puasa rutin, paleo, primal, hingga ketogenik. Hobinya belanja dan nonton film-film terbaru Hollywood. Dia anti film Indonesia karena menurutnya membosankan. Sebenarnya Gembi berkebalikan dengannya, merasa film mainstream membosankan. Film Hollywood kebanyakan daur ulang film-film lokal berbagai negara lain yang popular, sebut saja salah satunya Mulan yang sudah berapa kali diproduksi lagi dan lagi oleh Hollywood.
“Tante minta ditemeni nonton ‘Arwah Goyang Karawang”.” Ujar Gembi saat ngobrol rutin dengan Dom di malam hari.
“Aduh mama, ngapain lagi nonton film begitu.” Tepis Dom tak setuju.
“Dia bilang mau liat adegan cakar-cakaran DP dan Jupe.” Papar Gembi agak geli tapi juga penasaran.
“Ajak aja nonton film lain.” Tukas Dom yang lalu beralasan musti piket pagi jadi harus tidur awal. Dengan itu dia mengakhiri telepon.
Hubungan Gembi dan Dom berjalan tiga tahun ketika Dom melamar. Tahun pertama mereka berkencan, Dom mengajak Gembi memilih rumah yang selalu disebutnya akan jadi rumah mereka. Tahun kedua, Dom memercayakan Gembi dengan mobil Mini Clubman keluaran terbaru yang biasanya mereka pakai kalau Dom sedang pulang ke Jawa. Gembi tak mau memakainya karena dia sendiri lebih memilih naik bus dan jalan kaki ke mana-mana. Naik mobil lebih ribet, masih urus parkir plus belum lagi kalau jalanan padat merayap. Hanya ketika Dom pulang baru mereka pakai mobil itu. Gembi sering hanya membawanya servis dan merawatnya setiap hari. Selain itu, Gembi tak mau ambil resiko bila terjadi apa-apa pada mobil kesayangan calon suaminya itu.
Pada tahun ketiga itu pula, ketika penduduk Papua Barat gencar-gencarnya mengusulkan pemisahan diri dari NKRI, Dom melamar Gembi. Alasannya, dia sudah siap membangun rumah tangga dan melihat Gembi memiliki kesepadanan visi dan misi hidup berkeluarga dengannya. Mereka memang sependapat mengenai bentuk keluarga yang sederhana dan pendekatan menjadi orang tua yang mengedepankan relasi dengan anak, atau yang di bahasa asingnya dibilang relational parenting. Mereka banyak berdiskusi mengenai hal ini; mengenai menjadi orang tua yang baik berarti menjadi suami dan istri yang baik; tentang komitmen pernikahan seumur hidup, dan kebebasan belajar tanpa sekolah bagi anak.
Mengenai situasi kerja Dom yang harus berada di pulau yang jadi habitat burung Cenderawasih selama beberapa bulan dan hanya pulang untuk sebulan saja, Gembi sudah terbiasa. Lagipula mereka sering membahas kemungkinan untuk pindah ke pulau yang jarak tempuhnya lebih lama ketimbang ke Malaysia itu. Singkatnya, bisa dibilang mereka pasangan yang memang ditakdirkan bersama dari surga. Dom seorang laki-laki sukses dengan karirnya yang terus menanjak di sebuah perusahaan tambang internasional. Dia juga rajin beribadah dan pandai bersosial. Diapun pintar mengambil hati orang tua dan pandai menyenangkan tunangannya.
Gembi sendiri sudah memasuki usia matang. Dua tahun lagi dia akan berkepala tiga. Karirnya sebagai senimanpun sudah kondang. Pengikutnya di akun Instagram dan halaman facebook-nya sampai ratusan ribu orang. Setiap kali pameran, lukisannya selalu ludes dipesan penggemarnya. Di lihat dari kaca mata orang kebanyakan, hidupnya sempurna.
Hanya saja jauh dalam hati mereka, Dom dan Gembi selalu merasa pada dasarnya mereka tercipta untuk hidup di dua dunia yang berbeda. Mereka saling bersimpati karena menginginkan kehidupan ideal yang lain untuk melengkapi gaya hidup mereka sendiri yang berseberangan. Dom selalu jadi laki-laki kota dengan segala gemerlapnya dunia konsumsi. Sementara, Gembi melulu tertarik pada perjuangan kemanusiaan dan isu sosial kaum pinggiran.
Meski Dom berhasrat bergabung dengan Gembi dalam visinya memerdekakan diri dari perbudakan neokolonialisme, namun dia merasa terjerat dalam norma kewajaran yang memberinya rasa nyaman. Sebaliknya Gembi, meski mendambakan kenyamanan hidup yang akan selangkah lebih maju dengan meleburkan diri dalam gaya hidup Dom sebagai istrinya, selalu merasa jati dirinya terkoyak ketika harus mengkhianati cita-citanya bergerak dalam pergumulan melucuti penelikungan moral. Mereka punya konflik laten yang sama-sama diredam dengan mitos ideal mengenai percintaan dua anak manusia yang berencana menikah untuk membangun keluarga.
“Aku ingin membangun keluarga shekinah denganmu, Bi. Aku tahu kamu punya cita-cita yang sama. Karenanya aku melamarmu.” Ucap Dom meyakinkan perempuan yang selalu memunculkan ide-ide yang menurutnya gila dan acap kali memadamkan api romantika yang ada dalam benaknya.
“Apa kamu bisa hidup tanpa jam Rolexmu, Dom? Apa kamu bisa hidup minimalis?” Jawab Gembi, lagi-lagi meloncat keluar dari alur pembicaran klasik tradisional kisah percintaan manusia menurut maxim kajian wacana Paul Grice.
“Aku ini manajer perusahaan tambang internasional, Bi. Mana mungkin bisa begitu, penampilanku adalah aset yang menentukan kuat tidaknya relasi bisnis yang kujalin. Jadi menentukan kesuksesanku, kesuksesan keluarga kita nanti.”
‘Kata itu lagi, dan lagi, kesuksesan…apa itu sukses…apa itu kesuksesan. Itu kesuksesan menurut definisimu. Bukan definisiku. Itu kesuksesanmu, bukan kesuksesanku. Berani-beraninya melabelinya kesuksesan keluarga kita.’
Gembi membatin saja premis argumen yang tak pernah dilontarkannya. Dia hanya tersenyum putus asa menyadari Dom belum bisa memasuki lapangan pemikirannya yang terang-terangan berlawanan dengan cara berpikirnya. Pembicaraan senada demikian tak pernah menemukan titik terang dan kesimpulan. Dom merasa masalah ini tak akan pernah menghalangi hubungan cinta mereka. Toh, mereka ingin membangun keluarga, jadi suami yang mencukupi, istri yang melayani. Kelak, mereka akan jadi orang tua yang memberi teladan yang baik untuk anak-anaknya. Sempurna.
***
Sendirian di Jakarta tanpa Semi, terasa ada yang kosong dalam hidup Gembi. Pekerjaannya mengijinkannya bekerja secara remote, artinya nggak harus ngantor. Jadi Gembi memutuskan liburan ke Cianjur tempat orang tuanya tinggal untuk menghabiskan masa pensiun dengan berkebun. Bapaknya pensiunan PNS Kementrian Pendidikan, sementara mamaknya masih suka dagang. Dengan berbasis ketrampilan dan kejeniusannya menuangkan ide secara visual, Gembi jadi salah satu art-director sebuah media besar untuk perempuan. Semua berawal dari hobi menggambar dan melukis yang ditekuninya dari kecil. Dia beruntung karena orang tuanya mendukungnya. Bapak dan mamaknya punya filosofi pendidikan yang tak terbatas dengan doktrin industri pendidikan yang menghamba pada logika ekonomi.
“Tumben pulang, nak. Minggu lalu barusan balik.” Sapa mamaknya ketika melihat Gembi terhuyung duduk di kursi teras rumah orang tuanya yang terbuat dari bambu kuning striata.
“Iya, mak. Sepi nggak ada Semi, udah brangkat minggu lalu.” Gembi beranjak cuci tangan, lalu menyeruput air jeruk segar yang disediakan mamaknya. Jeruk nipis segar hasil dari kebun dan air dari kendi terasa seperti lemonade ala café di kota. Tentu tanpa gula dan penguat rasa yang sering terlalu banyak sehingga menghilangkan rasa alami dari jeruk itu sendiri.
“Makasih airnya, Mak. Selalu enak.” Ucapnya pada mamaknya yang selalu mendukung semua keputusannya. Mamaknya lebih liberal dan nyeni, dari dialah Gembi memeroleh darah seni dan pemberontakannya dari norma sosial yang menekan daya cipta anak-anak muda.
“Anak-anak itu bisa mikir sendiri, mereka juga manusia. Jangan dibebani dengan agenda-agenda orang tua yang selalu merasa lebih tahu dan benar. Padahal kita hidup di jaman dan kondisi yang beda.”
Begitu mamaknya sering berpesan pada Gembi ketika dia pamit mengajar seni rupa dan sastra di sekolah alternative anak-anak pinggiran Jakarta.
***
Penat dengan kehidupannya yang serba sendirian dan serba sibuk dikejar-kejar waktu di ibu kota, Gembi jadi lebih sering pulang ke rumah orang tuanya untuk refreshing. Hanya di rumah orang tuanya, Gembi bisa merasa santai dan damai. Benar saja kata mamaknya, sekali anak tetaplah anak. Anak selalu menemukan rasa aman itu di dalam naungan orang tuanya yang mengasihinya tanpa syarat. Hanya karena dia anak mereka, dan mereka adalah orang tuanya. Itu saja.
Gembi menghabiskan akhir minggu itu dengan membantu orang tuanya di kebun dan mendengarkan bapaknya yang suka main gitar mengumandangkan lagu-lagu daerah Ambon manise. Sambil menikmati udara sejuk Cianjur dengan pemandangan bukit-bukit di puncak Cipanas, Gembi mengikuti berita di newsfeed HP pintarnya. Matanya tertumbuk pada sebuah iklan webminar “Solidaritas Papua Barat”, tertulis nama dan terpampang foto para pembicara. Salah satunya Ronny Yeimo. Tak percaya nama yang dibacanya, Gembi berusaha memperbesar foto yang tampak di sana. 'Ronny! Ah hampir sepuluh tahun tak ketemu, apa kabarnya?'
“Baca apa, nak?” Tanya Bapak melihat Gembi tak lagi terhanyut dalam lagu-lagu yang dinyanyikannya.
Salah satu lagu yang dibawakan Bapak yang disukai Gembi adalah Sariande. Saat kecil Gembi selalu membayangkan dirinya akan menjadi seperti Sariande nanti. Ketika masa dewasa menjelang, Gembi akan membuktikan dirinya cukup terampil menjadi anggota mandiri di masyarakat dengan lulus segala ujian ketrampilan. Begitulah tradisi masyarakat Maluku bagi para perempuan yang dianggap memasuki usia pernikahan.
“Oh ini, Pak. Webminar Solidaritas Papua Barat.” Jawab Gembi polos seolah lupa Bapaknya anti dengan pembicaraan apapun yang menodai semangat NKRI, apalagi membahayakan keselamatan bocah unting-untingnya.
Wajah Bapak tampak berubah serius, matanya memburam dan sudut bibirnya meruncing “Nggak usah ikut-ikutlah, Bapak khawatir…”
Dia tahu Gembi tak bisa dirayu kalau sudah soal urusan ketidakadilan sosial dan pelecehan kemanusiaan. Isu ini bukan baru kali ini saja muncul dalam obrolan akhir minggu mereka. Sudah bertahun-tahun masing-masing sama-sama tahu posisi pandangan anak-bapaknya.
“Pak, apa arti sukses menurut Bapak?” Gembi justru bertanya soal yang tak nyambung.
Gaya dialog lateralnya sering disalah pahami Dom sehingga mereka sebenarnya jarang bisa bicara dengan pemahaman konteks dan isi diskusi yang sama. Ujung-ujungnya mereka bertengkar dan perang dingin diakhiri dengan bujukan Dom untuk berbaikan. Gembi sering frustasi karena merasa tak bisa menemukan diskusi yang kaya dan memberi makan jiwa dengan tunangannya itu.
Mengambil singkong goreng bawang putih dengan ketumbar kegemarannya dan menyeruput teh melati dengan gula pasir setengah sendok yang panasnya mengusir udara sejuk yang mulai makin dingin, Bapak menerawang jauh.
“Mapan, berpekerjaan tetap, berpenghasilan bulanan, punya rumah, dan keluarga yang sehat, dan pensiun.” Ujarnya sambil menarik napas berusaha menghirup bau ketumbar dari singkong gorengnya.
“Bi, pernikahanmu dengan Dom, itu salah satu kesuksesan. Sukses itu Dom, dialah kesuksesan itu sendiri.”
Bapaknya menyunggingkan senyum mendukung penuh dan mendorong Gembi segera meresmikan hubungannya dengan laki-laki metropolis itu.
Dada Gembi sesak dan kepalanya jengah menentang ide kemapanan yang menurut orang tuanya sebuah gaya hidup wajar yang mestinya dipilih semua orang, termasuk anaknya. Lagipula, orang tua mana yang rela atau justru mendorong anaknya menyerahkan kenyamanan hidup hanya demi isu-isu sosial politik yang tak menjamin masa depan seorang perempuan, alih-alih malah membahayakan nyawanya. Apalagi menghidupi seni yang berarti tanpa penghasilan bulanan tak ubahnya seperti seorang pedagang yang bisa jadi hari ini untung besar dan besok pailit.
‘Tapi bukankah itulah hidup, tak ada yang pasti. Bila hanya Tuhan yang Maha Kuasa, apalah tangan manusia mau mengontrol semuanya.’
Tangkis Gembi berlogika dengan bekal Ilmu Dasar-Dasar Logika yang pernah diterimanya dari seorang dosen muda kampusnya, Bang Lahade.
“Pak, buat Gembi, sukses itu menemukan tujuan hidup yang jadi panggilan kita. Itu bisa berarti tak memiliki semua kemapanan yang Bapak bilang. Itu bisa berarti mengorbankan kenyamanan hidup, berarti harus pindah-pindah tanpa rumah, berarti tanpa pekerjaan yang pasti, berarti…bisa berarti juga bekerja untuk kemanusiaan dan keadilan sosial tanpa gaji bulanan…berarti…” Ujar Gembi terbata karena sadar kalimat berikutnya pasti mendukakan Bapaknya. “Berarti…membatalkan pernikahan.”
Bapak terdiam lama masih mengulum singkong dan tehnya. Kemudian setelah banjir keheningan yang meluapi hati dua manusia itu bergelimang cukup lama hingga hampir menenggelamkan penerimaan tanpa syarat di antara keduanya, Bapak bersuara “Gembi, pikiranmu tak wajar. Percayalah Bapak, nak. Supaya kamu bahagia.”
Gembi terhenyak, dadanya makin sesak. Pikirannya berkecamuk, perang badar berkobar-kobar dalam hatinya.
‘Apa itu kebahagian? Apakah arti kesuksesan? Siapa berhak mendefinisikan kebahagiaan dalam hidup seseorang?’
Di satu sisi dia selalu mengharap-harapkan hidupnya akan menyenangkan orang tuanya. Suatu hari dia akan menikah dengan pria mapan dengan bobot, bibit, bebet, dan kerohanian yang sejalan dengan pandangan orang tuanya. Di sisi lain, dia selalu ingin memberontak dari jalan hidup normatif yang membosankan.
Dia menggambarkan dirinya jadi aktivis hak asasi manusia yang mempromosikan dan memperjuangkan kemerdekaan masing-masing orang untuk berpendapat dan menentukan nasibnya sendiri. Pikirannya selalu bertentangan dengan Bapak terutama isu sosial, posisi mereka selalu berbeda.
Bagi Bapak 'Pemerintah itu dari Tuhan, tak boleh dilawan.' Sekalipun itu berarti ada kelompok yang mendominasi dan kelompok lain yang tersubordinasi.
'Kalo memang prinsip itu benar, maka bolehlah dibilang aku bukan melawan pemerintah. Aku sedang berpartisipasi aktif sebagai rakyat yang baik. Mengingatkan pemerintah yang udah kebablasan keluar dari jalan Tuhan dengan memplekotho kelompok rakyat lemah.' Dalih Gembi sering kali mendekonstruksi pemikirannya ketika Bapak sudah mengeluarkan jurus kalimat bijaknya. Tapi sekali lagi, gagasan itu tak pernah terlontar dari mulutnya agar tak mengecewakan Bapak.
“Pak, maafkan Gembi, Gembi lebih berpihak pada kemanusiaan. Gembi bukan cuma orang Indonesia, tapi Gembi warga dunia, hak dan kewajiban Gembi membongkar penindasan terhadap manusia, siapapun mereka. Gembi selalu terusik untuk memperjuangkan kemanusiaan, bukan cuma kewarganegaraan.” Papar Gembi lirih tak berani melihat wajah Bapak yang tentu sedang memancarkan kepedihan yang mendalam.
Tak mendengar respon apapun dari Bapak, Gembi melanjutkan “Kita juga sudah berulang kali bicara, Dom berbeda dari Gembi. Kami tidak akan pernah memiliki visi yang sama, Pak. Kami hanya akan saling membebani. Hidup begitu tak adil buat kami, buat Dom.” Mata Gembi panas dan air mata perlahan-lahan meleleh dalam isak tangisnya yang dirundung keheningan. Hatinya mendadak terasa sakit seperti tertusuk pedang yang galang dan tajam. Jarinya menari dengan cepat meninggalkan sebuah pesan di grup Zoom yang menjadi media webminar yang hanya sempat diikutinya barang setengah jam.
“Keep up the good fight.” - Gembira Lattu
Bapak diam. Begitu biasanya ketika dia tak bisa mengartikulasikan pemikirannya untuk mempersuasi orang-orang disekitarnya, terutama Gembi. Lagipula, Bapak memang pada dasarnya pendiam. Mamak lebih banyak bicara dan aktif. Mereka seperti seorang pertapa dan staf relasi publiknya. Bapak akan mengumandangkan dalil-dalil keluarga mulai dari kerohanian, ekonomi, politik dan sosial. Sementara dengan persetujuan semua anggota, Mamaklah yang mengeksekusinya, menerjemahkannya dalam garis-garis besar haluan keluarga, mengenai bagaimana beribadah, mengatur keuangan, berpartisipasi di ranah publik, dan bergotong-royong dengan rukun bersama warga sekitar tempat tinggal mereka.
Pasangan tua itu bisa demikian, karena memiliki visi dan misi yang sama, yakni akal sehat berkeluarga menurut orang kebanyakan. Keduanya tidak saling tarik menarik demi ideologi dan kepentingan masing-masing. Bukan, bukan karena Bapak lebih dominan sehingga mengekang dengan paksaan, dan bukan pula karena Mamak lebih cakap bicara namun lemah berpikir sehingga jadi penurut. Mereka tak ubahnya satu tubuh dengan daerah operasi yang berbeda-beda. Satu roh dengan manifestasi kemengadaan yang beranekarupa sehingga membangun sebuah keluarga yang seutuhnya.
Justru tepat di tataran inilah polemik hubungan Gembi dan Dom berada. Mereka tak pernah menemukan kemanunggalan roh yang tentu saja tersembunyi sedemikian rupa sehingga terelak dari padangan orang-orang di sekitar mereka, termasuk Bapak dan Mamak. Hanya mereka sendirilah yang tahu bahwa mereka tak pernah bersekutu di medan paling intim hubungan antar manusia itu.
***
‘Bi, selamat ya. Kutunggu undangannya.” Pesan senada dengan ucapan selamat tinggal Semi sebelum hijrah ke negeri empat musim itu masuk ke HP pintar Gembi. HPnya bukan merek ternama. Sekedar bisa beroperasi saja. Dia teringat pesan Bang Lahade, dosennya yang berasal dari kota musik, yang terkenal vokal mengadvokasi isu-isu ketimpangan sosial di kotanya.
“Konsumsi barang itu, liat fungsinya, bukan mereknya. Kalo kualitas dan harga terjangkau tak apa, tapi jangan kasih makan gengsi. Nanti kamu mati.”
Bukan karena Gembi tak punya cukup uang. Royalti bulanan yang diterimanya dari berbagai media yang menggunakan karyanya cukup memberinya kesempatan hidup dalam kemewahan anak muda ala kota besar. Dia memilih menabung sebagian dan menyumbangkan yang lain ke YAM, sebuah Yayasan yang didirikannya bersama teman-temannya semasa kuliah untuk mensponsori anak-anak kurang mampu dan korban perceraian yang terlantar. Yayasan ini bekerja sama dengan organisasi anak-anak internasional untuk menjangkau lebih banyak penerima donor dan pemberdayaan dari pendampingan mereka.
Gembi yang baru saja mengajar keluar dari kelas seni dengan pengajaran berpendekatan STEAM (Science, Technology, Arts and Math) asuhan YAM. Pesan lain masuk ke Facebook messengernya
“Aku jadi pulang bulan depan.” – Dom
“Good to know.” Jawab Gembi singkat.
Buru-buru dibukanya pesan yang datang lebih awal tadi. Gembi mengenali wajah cokelat dengan garis rahang dan pipi yang menonjol itu. Hanya kali ini rambutnya dibiarkan terurai agak panjang, bukan lagi pelontos kala laki-laki itu tak mampu beli sampo semasa sekolah.
“Ronny! Apa kabar?” Tak percaya melihat pesan dari sahabat seperjuangannya di pers kampus itu, Gembi berseri-seri. Dia senang sekali, seolah dunianya kembali terbuka dan memberinya angin segar yang membiarkannya menghirup udara tanpa polusi sebanyak yang dia bisa. Dadanya bergejolak dengan penuh antisipasi akan kebebasan dan energi untuk berkarya bagi kemanusiaan yang tak lagi terpitak oleh golongan apalagi yang mengatas namakan patriotisme nasional. Fragmentasi kebangsaan yang sinis sudah basi. Ronny selalu menawarkan pesona itu. Gelora petualangan yang heroik yang selalu membebaskan diri dari rutinitas sehari-hari.
Laki-laki keturunan Papua Tionghoa itu menelepon Gembi. Menyadari peneleponnya terdaftar dalam DPO interpol, Gembi berhati-hati supaya obrolan mereka tak terdengar siapapun di sekitarnya.
“Aku runut pesan kamu di webminar jadi bisa kontak.” Ucap Ronny setelah berbasa-basi. Mereka sama-sama tahu situasi satu dengan yang lain.
Dada Gembi berdetak dengan keras antara gembira dan cemas. Gembira karena menemukan partner in crime yang sama-sama sering menulis kritik-kritik pedas tentang McDonalisasi pendidikan sampai Kebijakan Otonomi Daerah yang hanya lips service di beberapa daerah. Terkenang diskusi mereka yang mengalir hingga subuh di kantor pers mahasiswa tentang budaya memberi dan patron klien yang merusak pengabdian para pelayan rakyat di badan-badan pemerintahan.
Dia cemas karena menyadari dunia baru yang barusan ditapakinya dengan kehadiran kembali teman lamanya itu penuh intrik bak zona perang yang sewaktu-waktu siap merenggut kenyamanannya, mencabik kulitnya, bahkan hidupnya. Teringat dan berdengung kembali pernyatan Ronny ketika seorang berbaju necis dan berjam tangan Greubel Forsey menyambanginya di kantin Rindang tempat yang sama di mana Gembi menikmati es telernya setelah kepergian Semi.
“Terima kasih tawarannya, Bang. Menggiurkan sih, bisa kerja padahal belum lulus. Tapi maaf Bang, saya memilih merdeka.”
Gembi ingat Ronny bercerita pada kawan-kawannya malam itu. Pria yang tak dikenalnya itu memintanya berhenti membuat tulisan opini yang menyudutkan aktor-aktor berbudaya korupsi dan nepotisme yang masih saja merajalela.
“Aku tak mau jadi para priyayinya Umar Kayam. Aku mau jadi binatang jalangnya Chairil Anwar. Aku tak bisa berdiam diri melihat Inemnya Ananta Toer jadi korban kemiskinan.”
Setelah itu Ronny sering menerima teror kaleng pembunuhan dan penyiksaan. Namun tikaman mental itu tak pernah menyurutkan integritas Ronny hidup konsekuen dengan kata-katanya.
Tersadar masih bicara di telepon, perempuan yang selalu berbaju tradisional daerah, antara batik atau tenun ikat corak Ambon, dan mengenakan tas rajut noken tersadar pembicaraannya bisa jadi tak aman. “Pakai Telegram?” Ronny menyahut cepat memahami situasi “Ada.” Mereka bertukar nomer untuk melanjutkan pembicaraan.
Tak lama setelah mereka berkomunikasi tuntutan kasus-kasus diskriminasi ras merebak yang berujung pada masuknya Veronika Koman ke DPO dengan tuduhan provokasi dan penyebaran informasi bohong insiden asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.
***
“Aku sampai di London jam 7 pagi.” Pesan Semi untuk Ronny yang lima tahun belakangan menetap di London, Kerajaan Britania Raya.
Ronny jadi salah satu profesor di Pusat Studi Asia Tenggara, Universitas London. Setelah lulus kuliah dan terus aktif memperjuangkan kasus-kasus hak asasi manusia di Indonesia timur, Ronny mendapat beasiswa melanjutkan studi program doktor di Universitas Negeri Arizona, Amerika Serikat. Dari sana, dia mendapatkan posisi program paska-doktor negeri Ratu Elizabeth yang berlanjut dengan posisi pengajar.
Mengetahui Ronny berdomisili di London, Semi menghubunginya untuk ketemuan. Setiap kali ke London, Semi memilih naik Ryanair, dengan kartu langganan yang dimilikinya, Semi mendapatkan banyak diskon. Karena sering melakukan perjalanan bisnis, Semi memilih jalur ini. Lebih cepat dan efisien waktu. Begitulah pemikiran pedagang. Sebagai pebisnis layanan penyedia creative-content untuk perusahaan-perusahaan internasional dan bisnis rumahan bermodal besar, Semi sering bepergian, terutama di area Eropa. Hanya baru belakangan ini Semi mendapat kabar tentang Ronny.
“OK, kujemput. Sampai ketemu.” –Ronny
Semi mendapat jawaban singkat dari Ronny lewat Telegram.
Dalam penerbangan, Semi teringat bagaimana para dosen mengecap Ronny sebagai mahasiswa veteran yang tak akan lulus karena kebanyakan begadang dan memertanyakan hal-hal, yang menurut para dosennya, bukan urusannya sebagai mahasiswa. Semi tersenyum-senyum sendiri membayangkan Ronny yang saking melaratnya sampai harus tidur di kantor pers kampus akibat tak mampu bayar kos. Karena kasusnya pusat kegiatan mahasiswa di kampus harus tutup di malam hari untuk menghindari para mahasiswa miskin seperti Ronny menumpang tidur di sana. Dulu diusir dan diaggap sampah, bagaimana bisa dia sampai di London, jadi Profesor pula! Aah benar kata Bang Lahade
“Belajar itu bukan cuma melulu baca buku, hadir di kelas, dan lulus ujian. Belajar itu bukan buat cari kerja dan cari uang. Belajar itu untuk menemukan panggilan hidup, dan berjuang untuk menghidupinya. Itulah kesuksesan, itulah kebahagiaan.”
Ronnylah sosok pembelajar yang sesungguhnya. Dia mengabaikan komentar miring padanya dari mereka yang dianggapnya guru yang bertahta di menara gading kampusnya. Ronny berani menerjang akal sehat pendidikan yang membungkam potensi dirinya. Hingga dia menjadi sosok yang lagi-lagi dicibir dan diburu untuk dibinasakan oleh mereka yang dianggapnya para bapak pengayom bangsa. Menurut pandangan Semi, Ronnylah pengejawantahan kesuksesan dan kebahagiaan. Dia tak pernah berbohong pada dirinya. Dia selalu jujur mengenai apa yang diinginkannya dalam hidupnya.
“Hai Semi! Di sini!” Panggil Ronny melihat Semi celingukan mencari penjemputnya. Senyum keduanya merebak lebar-lebar.
“Hai Ronny!” Mereka berangkulan dengan riang. Seperti mimpi rasanya bertemu sahabat lama yang sudah lebih dari satu setengah dekade hilang kontak. Apalagi saat ini ketika Ronny tak lagi punya hak mengritik garapan Semi yang memang berkiprah di wilayah yang berbeda. Perempuan wirausaha bertangan dingin itu sudah berhasil memahami bahwa hakekatnya dia adalah entitas setara dengan laki-laki yang dulu dianggapnya senior itu.
“Gila kamu Ron, berani-beraninya nglawan para bapak.” Begitu sapa Semi menepuk lengan Ronny yang meraih koper mungil dari tangan Semi yang tak seberapa beratnya.
Dia hanya tertawa. “Ah, kayak soal pilihan ganda aja!”
Semi tak kuasa terbahak mendengar jawabannya. Obrolan yang seolah tak nyambung begini hanya bisa didapat Semi dengan dua orang, Ronny dan Gembi. Jawaban laki-laki yang masih saja kurus itu mengingatkannya pada kawan karibnya yang sudah dua tahun tak bertemu muka dengannya.
Maksud Ronny, seolah dia punya pilihan lain selain memberi usulan atau yang dibilang dalam wacana pemerintah sebagai sebuah perlawanan. Baginya, apa yang dilakukannya adalah sebuah partisipasi. Jadi warga negara yang baik dan disebut nasionalis berbeda definisi dalam kamus dirinya. Dia punya caranya sendiri mewujudkan karakteristik rakyat yang patriotis, yakni dengan menyejajarkan dirinya dengan sesama manusia tanpa fragmentasi golongan SARA. Dengan begitu dia berharap negaranya akan menjadi bangsa yang bermartabat dengan pemerintahan yang adil sebagaimana yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945, dengan menjamin
"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
“Kita sarapan di flat, ya. Masih kredit, aku barusan bayar DPnya.” Lagi-lagi ujarnya sambil terbahak.
Beban kebanyakan rakyat biasa. Angsuran rumah dan tagihan-tagihan bulanan lainnya. Ronny, seorang yang jadi salah satu manifestasi perjuangan hak asasi manusia dari daerah asalnya, harus bekerja di negeri orang, dicap pengkhianat dan separatis, namun tetap diperhadapkan dengan soal-soal remeh temeh rakyat jelata. Di antaranya seperti membayar rumah yang menaunginya dari teriknya mentari di musim panas, dan dinginnya salju di musim dingin.
“Gak ada yang murah di kota termahal di dunia ini.” Ucapnya agak tawar tapi masih dengan tawa optimisme.
Optimisme yang menyiratkan harapan yang abadi dalam dirinya, bahwa mati sekarangpun baginya tidak sia-sia. Karena dia sudah menghidupi cita-citanya. Cita-cita yang selalu mengusik tidurnya, menjadi pejuang hak asasi manusia, terutama membela kampung halamannya. Dia selalu meyakini bahwa untuk itulah dia tercipta di bumi pertiwi tercinta.
Mereka tiba di sebuah deretan flat berlantai empat. Ronny membeli sebuah flat kecil dengan dua kamar di lantai paling atas. Flat paling atas di gedung tanpa lift biasanya lebih murah, apalagi di daerah pinggiran seperti Morden yang jaraknya kurang lebih lima puluh menit dari pusat kota London dengan kereta bawah tanah. Kalo di Jawa, seperti dari Yogyakarta ke Solo. Jauh sekali dari pusat kota. Semi turun dari mobil CRV seri lawas berwarna biru tua tunggangan Ronny yang dibelinya dari seorang mahasiswa Indonesia yang hendak pulang karena usai masa studinya.
Belum lagi Ronny berhasil merogoh kunci dari sakunya, pintu flatnya terbuka. Di antara sela nafasnya yang ngos-ngosan akibat naik tangga, Semi berpikir pasti teman serumah Ronny. Di London, orang biasa menyewakan kamar di rumahnya yang tak dipakai untuk mengurangi beban sewa atau kredit.
“Halo Semi!” sapa sosok di balik pintu yang masih setengah terbuka. Suara itu tak asing bagi perempuan yang selalu tampil feminin tersebut. Suara yang mengingatkannya pada masa-masa kuliah dan bekerja di Jakarta. Suara yang melepasnya di bandara Sukarno-Hatta.
“Gembira!!” Semi langsung merangkul sahabat karibnya itu.
Setelah lama memeluknya erat, masih tak percaya pertemuan itu nyata, Semi berusaha mengenali wajah perempuan yang masih saja bergaya rambut pelontos itu. Tampak wajah yang dulu mungil dengan guratan garis muka yang tegas berubah jadi lebih berisi. Tubuh yang semula kerempeng akibat terlalu banyak jalan itu terasa lebih sintal. Gembi sedang hamil enam bulan. Jendela yang menyinarkan cahaya musim semi terbuka mengalirkan bau bunga-bunga daffodil yang mewarnai taman dengan pendar keemasan.
“Aku memilih merdeka.”
Ujarnya yakin dengan senyum yang mengembang.
Mereka bercengkrama menikmati reuni yang membebaskan mereka dari tuntutan kewajaran, apalagi kemapanan, sehingga mereka bisa menikmati sarapan martabak sagu yang mengenyangkan ditemani teh susu Asam khas India. Di sana, saat itu, kesuksesan dan kebahagiaan berhasil bebas dari penjara norma yang dibungkus istilah kewajaran. Diiringi alunan Kidung Wahyu Kolosebo yang sering ditembangkan Mamak, dua konsep abstrak itu mendapatkan haknya untuk mendefinisikan hakekat dirinya yang berbeda-beda bagi setiap anak manusia di hadapan Yang Maha Agung. Sebab seperti lirik tembang itu, segala kesaktian manusia tak ada artinya untuk mewujudkan niatnya. bila tanpa persetujuan Sang Khalik. Lagu itu berbunyi "Manunggaling kawulo Gusti, kreteg ati bakal dumadi". Artinya ketika bersatu dengan Tuhan, maka harapan hati akan terlaksana.
Pesanggrahan, 19 Agustus 2020
AC
Comments