Peringatan buat kamu yang lagi baca tulisan ini. Ini masalah basi, jadi kalo kamu bosen soal gender dan ketimpangannya, mending ngga usah baca aja haha…tulisan ini jadi lain dari yang lain karena saya yang nulis! Hah?! Haha...Kamu pasti udah mulai muntah-muntah baru baca sampe di sini aja, apalagi selanjutnya…eits tunggu dulu, bacalah sedikit lagi maka kamu akan liat gimana tulisan soal basi ini jadi seger lagi karena sekali lagi saya yang nulis…wkwk :p apa uniknya? Karena saya ibu rumah tangga yang bangga dan puas tinggal di rumah dan ngurusin anak, plus sesekali ngeblog, bikin puisi, sajak, atau cerita semau saya. Bak ratu ya haha…ah rumput tetangga memang selalu lebih hijau. Ah skip omong kosongnya…yuk disimak omelan saya tentang perempuan, peran, dan posisinya di masyarakat kita dulu dan sekarang.
Bagaimana perempuan ditempatkan di dalam masyarakat dulu dan kini telah mengalami perubahan. Begitu kesimpulan saya setelah mengunyah berkali-kali tesis teori patriarki, dan gender yang saya anti-tesiskan dengan pengalaman dan hasil pengamatan saya sehingga membentuk sintesa yang akan kamu baca berikut ini. Intinya omelan saya akan terbagi dalam tiga babak, yakni ketidakadilan gender dan budaya, serta bagian berikutnya isu pertama saya pertemukan dengan kapitalisme dan meritokrasi.
Ketidakadilan Gender dan Budaya
Meski memang hal ini harus dilihat dari kacamata relasi budaya dan politik masing-masing pribadi perempuan di mana dia berada. Maksudnya kita tak bisa menyandingkan secara sejajar klaim ketertindasan atau penghargaan perempuan kulit putih sama ratanya dengan yang dialami perempuan kulit berwarna atau cokelat. Sebabnya, masing-masing masyarakat di mana dua perempuan dengan kulit berbeda itu hidup memiliki lapisan sosial yang berbeda. Ditambah lagi ketika dua kelompok sosial dua perempuan itu bersinggungan. Asumsinya dengan geopolitik dunia saat ini, masyarakat berkulit putih lebih tinggi kekuatan ekonomi dan politiknya dibanding kelompok yang kedua. Dengan sendirinya situasi ini menempatkan perempuan kulit cokelat bernilai lebih rendah dari perempuan berkulit putih dalam situasi apapun. Sehingga menurut Silvia Walby (1990), di Inggris perempuan berkulit berwarna cenderung memiliki beban dua kali lipat lebih berat dari mereka yang berkulit putih. Kesimpulannya dalam pembahasan gender, ras dan budaya memiliki peran kajian yang signifikan.
Hanya saja, bukan ini saja yang mau saya bahas haha...Kita akan kembali lagi ke masalah ini nanti. Sementara itu saya mau berbagi tentang kenyataan yang kami hadapi sebagai perempuan di masyarakat yang sedang membebaskan diri dari dominasi, atau hegemoni lebih tepatnya, patriarki, yang makin diperparah oleh kapitasisme dan meritokrasi. Patriarki itu sendiri menurut KBBI berarti:
"n Psi perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu"
Budaya patriarki ini dipandang telah mengalami banyak perubahan. Perempuan yang semula dipandang lebih rendah dari laki-laki, dalam banyak hal sudah mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Misalnya kesempatan berkarir di dunia yang dulu hanya milik laki-laki, penambang, pemadam kebakaran, sampai pilot pesawat tempur, dan masih banyak lagi.
Kapitalisme dan Ketidak adilan Gender
Industrialisasi yang berjalan seiring dengan kapitalisme merupakan beberapa faktor yang bersinggungan dengan perubahan ini. Kaitan yang pertama tentu saja berbagai pekerjaan yang dulu secara fisik tak bisa dikerjakan perempuan, karena teknologi yang berkembang pesat maka profesi tersebut memungkinkan diperankan perempuan. Sayangnya, ketika perempuan memiliki saluran untuk bergerak di dunia luar, perannya di lingkungan keluarga alias ruang domestik tak beralih darinya. Seandainyapun hilang, bukan karena dia tak mengerjakannya, melainkan dibebankan pada perempuan lain yang juga bernasib sama dengan majikannya. Dia tetap memiliki tanggungjawab atas pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga lain di dalam keluarganya sendiri.
Contohnya adalah perempuan di Taiwan yang sebagian besar bekerja di luar sehingga menyerahkan pengasuhan anaknya pada nenek, pembantu atau inang pengasuh yang bisa jadi dari negara-negara Asia Tenggara. Perempuan di negeri Formosa ini memang berkiprah di dunia luar, namun dia tetap menjadi penanggung jawab urusan-urusan rumah tangganya (Lan, 2006). Selain itu, perlu diingat ada perempuan lain yang juga mewakilinya mengerjakan tugas-tugas yang semula dikerjakannya.
Berkaitan dengan soal budaya yang saya sebut di subbagian pertama tadi. Para perempuan ini berasal dari Asia tenggara dengan ras yang bisa jadi berbeda dengan perempuan Taiwan. Misalnya, perempuan Indonesia yang bekerja jadi tenaga kerja asing di Taiwan. Para perempuan Taiwan bisa jadi masih menerima upah yang lebih rendah dari para pekerja laki-laki Taiwan juga. Pada saat yang sama perempuan Indonesia yang bekerja jadi asisten rumah tangganya selain bergaji rendah juga tetap memikul beban domestik keluarganya di tanah air. Mereka masih memantau pendidikan anak, memberi uang bulanan pada orang tua, uang saku suami, dan bahkan menabung untuk membangun rumah. Dengan begitu dua kelompok perempuan ini sama tertindas, namun berbeda bobot dan bentuknya.
Dengan begitu perempuan menyandang yang selama ini kita kenal dengan beban ganda. Bahkan menurut Zuo Jiping (2016) beban ini lipat tiga di negara yang menganut paham sosialis. Apa dampak lain dari kapitalisme ini selain dua akibat yang terpapar di atas? Salah satu yang saya amati adalah perubahan parameter yang digunakan untuk mengukur nilai perempuan.
Ketidakadilan Gender dan Meritokrasi
Sebelum industrialisasi dan akhirnya kapitalisme berkembang pembagian peran perempuan di rumah dan laki-laki di luar tidak melulu dipandang memenjara perempuan. Saat pekerjaan di luar lebih banyak bersentuhan dengan alam sehingga menuntut ketahanan fisik yang lebih besar daripada sekarang, laki-laki akan bekerja di luar dan perempuan mengurus rumah dan anak-anak. Waktu itu tentu saja hal ini dipotret sebagai perbedaan fungsi saja dari keduanya.
Pada saat itu perempuan yang mengatur rumah dan mengajar anak-anaknya dengan baik dipandang menyandang profesi mulia. Pekerjaan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga tidak lebih rendah nilainya daripada pekerjaan di luar rumah. Para ibu dipandang sebagai orang-orang mulia yang berperan penting bagi keluarga, dan masyarakatnya. Lain ceritanya ketika industri yang dimotori kapitalisme merubah bentuk kerja di luar rumah.
Ketika teknologi hasil revolusi industri meringankan tuntutan fisik pekerjaan di luar, pembagian kerja yang semula jelas menjadi kabur. Perempuan sekolah kemudian bekerja di luar, misalnya di pabrik baik sebagai buruh maupun mandor dan manajer. Namun mereka tetap bertangunggjawab atas pekerjaan di rumah. Tuntutan ini diperparah dengan adanya system meritokrasi yang berkembang seiring kemajuan industri. Menurut KBBI ini arti meritokrasi: “n sistem yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan, senioritas, dan sebagainya.”
Masing-masing orang akan dinilai kemampuannya. Sistem ini kedengarannya bagus. Pada umumnya memang demikian. Sayangnya penilaian ini diberikan oleh sekelompok institusi yang dikendalikan oleh sekelompok orang saja. Siapa yang dianggap mampu dan tak mampu semula ditentukan dengan system nyantrik alias magang kerja atau apprenticeship. Penilaian diberikan oleh mentor yakni tenaga ahli di bidangnya pada peserta magang yang belajar darinya. Misalnya: pandai besi memiliki anak remaja yang belajar bagaimana mengolah besi darinya. Apakah anak itu pada akhirnya mampu atau tidak akan ditentukan oleh hasil kerjanya yang dievaluasi oleh si pandai besi, atau empu besi.
Hari ini, penilaian atas kemampuan seseorang ini ditentukan oleh negara melalui system pendidikan yang dikerjakan oleh sekolah-sekolah. Hasilnya tingkat kemampuan seseorang diukur dari kepemilikannya akan ijasah. Sistem ini gampang bocornya. Misalnya: jual beli ijasah yang marak berlangsung; jasa penulisan tugas yang menjamur, dan sebagainya. Sehingga sebenarnya, bila mau jujur, ijasah tak menggambarkan secara langsung kemampuan seseorang. Bahwa ijasah menandai kelulusannya dari sebuah sekolah itu benar. Namun, apakah dia mampu dan memiliki berbagai ketrampilan dan pengetahuan sesuai yang tertera dalam ijasahnya dan transkrip nilainya itu urusan lain. Hasilnya perempuan yang mengemban tugas mulia sebagai ibu yang mendidik anak-anaknya di rumah, mengatur rumah tangganya dengan ketrampilan dan pengetahuan yang tak kalah mumpuni dari mereka yang bekerja di industri dipandang sebelah mata.
Sayapun tak luput dibutakan oleh mitos meritokrasi dan kapitalisme ini. Suatu saya bertemu dengan istri dari seorang pembicara kepemimpinan terkenal. Sang suami memperkenalkan saya kepada istrinya yang seorang lulusan institute perawat. Dia menjadi ibu penuh waktu, artinya tidak bekerja di luar. Saat itu komentar saya bodoh bukan kepalang “Wah sayang sekali, sekolah dan ketrampilannya dari sekolah tak diterapkan di luar.” Saya mengasihani ibu tersebut karena dengan pemahaman saya yang sebesar otak udang, saya pikir potensi si ibu dikerangkeng selebar rumah dia saja. Saya malu sendiri sekarang menyadari bahwa peran dan pekerjaan ibu dan manajer rumah tangga itu tak kalah canggihnya dengan ketrampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan dalam bekerja di dunia industri. Itu kalau keluarga dan anaknya mau berkualitas. Beda cerita kalau jadi ibu dan manajer rumah sekedar statusnya saja.
Cara pandang saya picik, akibat kurang dolan, ketika saya melihat perempuan harus bergelar dan bekerja di luar rumah supaya memeroleh penghormatan dan derajat yang sama dengan para lelaki. Semestinya saya melucuti semua ideologi nista saya tersebut dan menempatkan perempuan sebagai manusia yang sejajar nilainya di hadapan Yang Maha Kuasa dengan laki-laki tanpa embel-embel apapun. Mengerikan ketika perempuan yang bekerja di rumah, sementara mengerjaan pekerjaan paling mendasar dan hakiki di dalam masyarakat kita dipandang sebelah mata dan dianggap bodoh, bahkan tak berharga hanya karena dia berkiprah di wilayah domestik dan tak memiliki, atau kalaupun punya tak menggunakan, ijasahnya!
PERINGATAN: Tentu saja, saya tak bermaksud mengatakan bahwa perempuan yang bekerja atau sekolah memiliki motivasi poni atau pretensius. Saya menghargai mereka yang berkiprah di luar sana sekaligus mereka yang menuntut pendidikan setinggi mungkin sesuai dengan hasrat mereka selayaknya sebagai manusia yang punya mimpi. Sayapun mendorong perempuan untuk mengejar panggilannya. Jangan sampai dia tak bisa melakukan apa yang dia yakini menjadi tujuan hidupnya. Perempuan harus menemukan dirinya sekalipun dia menikah dan punya anak.
Balik lagi ke masalah tadi...Terlebih lagi ketika dia dipanggil dengan nama suaminya dan diperkenalkan dengan jabatan suaminya. Misalnya: Perempuan bernama Susi yang memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai manajer supaya bisa mengasuh anaknya dan mengurus rumah tangganya ketika berada di acara sosial perusahaan suaminya diperkenalkan sebagai Ibu Manajer Agus. Betul bahwa Susi adalah istri Agus, tapi bahwa status Susi sebagai istri Agus yang adalah manajer disebutkan untuk memerkenalkannya bagi saya menindas identitas Susi sebagai dirinya sendiri. Nama dia sendiripun tak pernah disebutkan! Dia dikenal dalam relasi domestiknya sebagai istri Agus. Siapa dia? Tak ada yang tahu.
Pengalaman lain yang memalukan karena ideologi yang mendegradasikan perempuan ini pernah saya alami. Suatu kali saya berkenalan dengan pasangan suami istri. Saya ada keperluan dengan suaminya, jadi hanya bicara dengan si suami. Saat bicarapun buru-buru karena waktu terbatas jadi tak sempat kenalan tentang keluarganya lebih jauh. Ketika sudah berpisah saya tanya nama sang istri pada teman yang memerkenalkan saya dengan mereka. "Namanya Ida." Katanya. Saya mengirim pesan kepada Ibu Ida yang lama baru berbalas. Pada akhirnya tahulah saya namanya bukan Ida! Setelah dibalas barulah saya tahu nama aslinya. Dia bilang "Saya kira pesan nyasar karena panggil saya Ida." Nah Loh!
Selain itu para bawahan atau kolega Agus akan melihat Susi dengan kacamata sempit yang dulu saya pakai untuk melihat istri si Pembicara. Mereka menatap Susi dengan pandangan remeh karena dia tidak bekerja dan tidak memakai ijasahnya untuk menjadi buruh industri. Lagipula siapa yang tahu dia adalah manajer yang berpengalaman, dan memiliki ijasah yang tak kalah dengan mereka para karyawan ini. Siapa pula yang mengakui bahwa kualitas keluarga dan anak-anaknya berbeda akibat prinsip Susi yang tak pernah berhenti belajar. Saat mengurus keluarganya Susi tak sekedarnya saja. Dia membaca buku manajemen keuangan, investasi ekonomi, komunikasi antar-pribadi, psikologi perkembangan anak, nutrisi dan gisi, resep-resep sehat, sampai dengan filsafat pendidikan.
Kalau Agus juga memandang rendah dan merasa minder di muka teman kerja dan bawahannya karena beristri ibu rumah tangga, maka mestinya Agus berkaca. Sarjana atau cendekia mana yang membaca buku seberagam seorang Susi yang disebut “hanya ibu rumah tangga saja” itu. Bisakah Agus menggaji para ahli di masing-masing bidang yang ilmunya dikuasai Susi secara otodidak? Yang ada semakin tinggi ilmu seseorang biasanya wilayah kajiannya makin sempit. Dia ahli di satu bidang saja dan tumpul di bidang lain. Tak perlu malu, karena itulah kenyataannya. Hanya orang dungulah, kecuali Tuhan tentu saja, yang mengaku mengetahui semua karena artinya banyak yang dia tak tahu sehingga merasa sudah tahu semua. Benar kata Bapak saya yang bilang "makin banyak kamu belajar, makin pahamlah kamu bahwa pengetahuanmu baru sedikit saja.
Penutup basa-basi
Sekian omelan saya. Semoga memberi gambaran sedikit dari apa yang saya maksudkan di judul bahwa umpatan yang saya paparkan di atas itu isu basi yang sudah hampir dua dekade berputar-putar saja di kepala saya dan baru tertulis sekarang dalam rupa prepetan emak-emak (yang penting ketje kan :p) demikian. Banyak mereka yang lebih ahli dari saya dan bergelar berderet yang nulis mengenai hal ini. Jadi saya tak mengklaim mengetahui segalanya, hanya omelan basi saya saja. Bila kamu tak sependapat dengan saya, ya bebas saja, selama kebebasan berpendapat itu dijamin UUD 1945 dan PBB kita merdeka punya pandangan yang berbeda. Cuman, jangan disimpen di hati. Kita boleh beda paradigma, tapi harus jadi satu hati sebagai sesama manusia.
Akhir kata, kalau ketemu atau tahu para perempuan yang berprofesi ibu rumah tangga, kan ada ditulis di KTP gitu ya, hormatilah dan pandanglah dia dengan kacamata yang lebih terang. Pesan ini buat para suami terutama. Demikian penutup saya yang hanya sekedar basa-basi ini. Haha…makasih udah baca. Semoga kamu terilhami, kalau enggak tinggal tutup aja browsernya haha…
Daftar Pustaka
Lan, Pei-Chia. Global Cinderellas: Migrant Domestics and Newly Rich Employers in Taiwan. Duke University Press, 2006.
Walby, Sylvia. Theorizing Patriarchy. B. Blackwell, 1990.
Zuo, Jiping. “Women’s Triple Burden.” Work and Family in Urban China, 2016, pp. 67–76., doi:10.1057/978-1-137-55465-9_4.
Comments